Pantang menyerah, kata itulah yang selalu ditanamkan Martini (43) dalam hidupnya. Wanita kelahiran Kulonprogo tersebut sempat mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya sebelum sukses menjadi eksportir tas anyaman dari bahan eceng gondok.
Sejak kecil Martini memang hidup dalam keterbatasan, sejak kecil dia sudah biasa untuk bekerja. Tiap pulang sekolah dia selalu membantu ibunya berjualan makanan kepada para penambang pasir di tepi Sungai Progo. Hingga beranjak remaja Martini cuma berhasil menyelesaikan pendidikan hingga SMP, karena keterbatasan biaya maka dia tidak dapat melanjutkan sekolah.
Cita-cita yang digadangnya menjadi guru itu kandas, sehingga dia menurut saja tatkala orangtua menerima pinangan Nurhadi, lelaki asal Bantul yang bekerja di perusahaan kontraktor selaku buruh. Di usia baru 17 tahun dia menikah dan ikut kemana pun suami ditugaskan.
"Jadi waktu itu suami buruh di perusaan kontraktor, kami sering pindah-pindah tergantung di mana ada proyek," ujarnya.
Untuk menambah penghasilan sang suami, Martini pun ikut membanting tulang bekerja sebagai penjual sayur di pasar tradisional serta merangkap sebagai pembantu yang tugasnya tugas memasak sampai bersih-bersih penginapan untuk para buruh. Setelah sekian lama merantau, akhirnya Martini dan suaminya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
"Saya mikir kalau di Jogja semuanya masih lebih murah. Waktu itu saya dapat kerjaan di sektor industri yang menghasilkan kerajinan anyaman," kata wanita dengan satu anak tersebut.
Malang nasibnya, perusahaan tempat dia bekerja harus gulung tikar. Tak tahan lama menganggur, Martini mencari akal untuk mencari uang dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat. Tidak ada bermalas-malasan dalam kamus hidupnya. Alhasil, sejak kantornya itu tutup, ia pun melihat ke dirinya, apa kiranya yang mampu dilakukannya. Pilihan Martini jatuh ke bisnis kerajinan tangan seperti yang dilakukannya sebelum perusahaannya tutup.
Akhirnya pada tahun 1999 dengan modal Rp 250.000 dan berbekal mesin jahit tua, Martini membuat kerajinan anyaman dengan memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan bakunya. Dengan pengetahuan yang didapatnya di perusahaan lama, ia segera mengolah eceng gondok hingga menjadi tali temali yang siap dianyam. Di awal usaha, Martini membuat tas dan karpet eceng gondok, lalu menitipkannya ke toko-toko kerajinan di daerahnya.
"Waktu itu saya naik sepeda tua warisan ayah saya, keliling sampai 40 kilometer menawarkan kerajinan saya," kenangnya.
Perlahan tapi pasti, kerajinan Martini banyak diminati. Dia pun mengajak tetangga dan saudaranya yang tinggal di dekat rumahnya untuk membantu menganyam. Mereka diberi upah untuk setiap unit anyaman yang dibuat. Seiring dengan berjalannya waktu, pesanan terus mengalir hingga jumlahnya membengkak. Kontrak jual-belinya mencapai ratusan juta.
Empat tahun berjalan, pada 2003, Martini terus berpikir untuk mengembangkan usahanya. Dia juga menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang pemasaran dan cara meningkatkan kualitas hasil anyaman. Dia ingin karyanya dapat bersaing di pasar luar negeri.
Martini juga akhirnya mendirikan agen di Jakarta, sehingga pasar dapat dengan mudah membeli anyamannya itu. Bali sebagai kota tujuan wisata dunia tak luput menjadi rujukannya untuk mengembangkan sayap usaha.
Kini ada puluhan karyawan bekerja di rumahnya, dan ratusan pekerja di bengkel kerjanya. Mereka rata-rata perempuan yang berasal dari beberapa daerah seperti Yogyakarta, Klaten, Solo, Kutoarjo, Purworejo dan Malang. Hasil usahanya dalam satu bulan pun tidak kurang dari Rp 1,2 miliar. Dalam sebulan rata-rata ia mengirim dua kontainer ke luar negeri, di antaranya ke Prancis, Italia, Eropa, dan Amerika.
"Karena bagi saya tidak hanya mencari keuntungan saja tapi juga dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat desa," tutupnya.
Sumber : cerminan.com