Bermula dari kedatangan dua tamu di waktu berbeda yang menyampaikan ‘sepotong dakwah’ tentang perjalanan Imam Ahmad bin Hanbal dengan seorang pembuat roti.
“Mungkin hidayah Allah kedua tamu itu bercerita tentang hal sama,” ujar Mus, warga Kecamatan Banjarmasin Selatan, menceritakan tentang ihwal istrinya mengamalkan zikir dan istigfar hingga ajal menjemput.
Cerita itu tentang perjalanan seorang musafir yang di masanya dikenal sebagai ahli agama yang sangat sederhana, arif dan bijaksana.
Karena kelelahan usai melaksanakan Salat Isa di sebuah masjid, dia berniat untuk bermalam di sana.
Namun pengelola masjid menolak tegas karena hal itu dilarang demi menjaga kebersihan.
Saat bersitegang seorang pria pembuat roti melintas lalu menawarkan kiranya orang yang itu menginap di rumahnya.
Sesampai di rumah si pembuat roti langsung menyiapkan adonan sedangkan si musafir dipersilakannya tidur.
Namun si musafir justru sibuk memperhatian si pembuat roti yang dari mulutnya senantiasa terdengar mengucap zikir dan istigfar, "Astaghfirullah."
Ketika si musafir bertanya, si pembuat roti menjawab:
“Memang sudah menjadi amalan saya bezikir dan istigfar sepanjang melakukan pekerjaan. Alhamdulillah Allah senatiasa mengabulkan doa-doa saya kecuali satu hal,” kata dia.
“Apa itu,” tanya si musafir penasaran.
“Saya sangat ingin bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal, namun belum kesampaian walau pun saya sudah pernah mencoba datang ke negerinya namun selisih waktu,” ujar si pembuat roti.
“Kenapa ingin bertemu sang imam?”, si musafir bertanya.
“Kekaguman saya akan ilmu, takwa serta kesederhanaannya,” jawab si pembuat roti.
“Sekarang Allah telah mengijabah doamu. Akulah Imam Ahmad itu,” ujar si musafir.
Cerita inilah, menurut Mus yang didengar sang istri yang kala itu masih belum terditeksi sakit, hingga mengamalkan zikir dan istigfar di setiap kegiatannya, baik menyapu, mencuci atau memasak. Dan, tiga bulan setelah istri Mus divonis dokter menderita kanker stadium 4.
Ibu rumah tangga yang biasa mengajar mengaji ke rumah para kolega dan kerabatnya secara Cuma-Cuma itu terkejut bukan kepalang, karena tidak mengalami tanda-tanda menderita kanker.
Namun, dia tak berdaya ketika kanker yang diiringi dengan liver kronis ini membuat perutnya terus membesar dan mengganggu pernafasannya mengharuskan dia dirawat di RS Ulin Banjarmasin.
“Sekitar sepekan kemudian istri saya meninggal dunia, tetapi Subhanallah, hingga ajal menjemputnya dia tidak pernah mengeluh rasa sakit yang saya dengar justru hanya zikir dan istigfar tak lepas dari mulutnya, hingga dia tak sadarkan diri,” ujar Mus, sang suami.