Ada beberapa penyakit gangguan pendengaran yang sebenarnya bisa dicegah. Salah satunya akibat kebisingan. "Jika dahulu berkaitan dengan pekerjaan, tetapi sekarang sudah beralih ke kebiasaan hidup," ujar dr Yuli Doris Memy SpTHT-KL, di Departemen THT, RSMH Palembang.
Jika pekerjaan, kebisingan dikeluarkan dari perusahaan yang alat-alatnya mengeluarkan suara keras. Perusahaan yang menggunakan alat berat dan mengeluarkan bunyi bising, diharuskan memenuhi keputusan menteri tenaga kerja nomor: kep-51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas faktor fisika di tempat kerja.
Misalnya intensitas kebisingan sebuah alat 91 dBA, seorang karyawan hanya boleh berada di tempat tersebut selama 2 jam. "Jadi diperlukan peredam dengan sumbat telinga, agar intensitas kebisingannya berkurang, sehingga diperbolehkan lebih lama lagi berada di ruangan itu," ujar dr Memy.
Ciri-ciri awal yaitu tuli di nada tinggi, tidak bisa mendengarkan suara lebih dari 4000 Hertz. "Sayangnya itu tidak disadari di kehidupan sehari-hari," kata dokter berkacamata itu.
Lama-lama, suara dengan nada rendah, baru tidak terdengar. Misalnya percakapan, sekitar 500 Hertz. Ketika dilakukan pemeriksaan berkala, baru diketahui jika sudah tuli. Percakapan saja sudah tidak terdengar lagi.
Namun, saat ini, gangguan pendengaran akibat kebisingan, sudah bergeser ke kebiasaan hidup, terutama yang bersifat rekreatif. Pernah dilakukan sebuah pemeriksaan. Di salah satu tempat bermain anak, intensitas kebisingannya lebih dari 90-an dBA. Jika dilihat, maka anak hanya boleh berada di ruangan selama 30 menit saja. "Bayangkan kalau anak di situ, ditinggal ibunya belanja lebih dari dua jam. Dan itu dilakukan terus menerus," kata dr Memy.
Selain di tempat bermain anak, juga di tempat hiburan orang-orang dewasa.Perilaku mendengarkan musik menggunakan headset. Kebisingan juga dekat dengan kehidupan sehari-hari, misalnya penggilingan daging di pasar, parut kelapa, dan tempat las. Itulah sumber gangguan pendengaran.